Victor E. Frankl, sang penulis
dari buku Man’s Search For Meaning membagikan pengalamannya tentang bertahan hidup di kamp Konsentrasi. Dia pernah
berada di empat kamp kematian Nazi yang berbeda, termasuk Auschwitz, antara tahun
1943 dan 1945.
Di dalam keganasan dan kekejian
kamp, Frankl yang juga seorang psikiater belajar menemukan makna hidup. Menurutnya,
kita tidak dapat menghindari penderitaan, tetapi kita dapat memilih cara
mengatasinya, menemukan makna di dalamnya, dan melangkah maju dengan tujuan
baru.
Jika dilihat lebih jauh, sungguh
sebuah keajaiban bahwa pada akhirnya dia selamat. Banyak sekali penderitaan
yang dia terima, hal-hal yang mendera dirinya, maupun hal-hal yang hilang
darinya. Namun sumber-sumber kekuatan yang ditemukannya juga tidak kalah
banyak, sehingga dia memiliki kekuatan fisik dan mental yang cukup untuk
bertahan.
“Dia yang punya alasan MENGAPA harus hidup akan mampu menanggung segala bentuk BAGAIMANA caranya hidup.” -Nietzsche
Kebanyakan tawanan tewas lebih karena
mereka putus asa akan kehidupan dan kehilangan harapan akan masa depan
ketimbang karena kekurangan makanan atau obar-obatan. Berbeda dengan mereka,
Frankl bertahan dengan cara memupuk ingatan tentang istrinya serta harapan akan
bertemu kembali dengan wanita yang dicintainya itu. Dia juga bermimpi untuk
dapat menceritakan apa hikmah yang dia dapatkan saat dari pengalamannya di kamp
Auschwitz.
Walaupun mengerikan,
pengalamannya di Auschwitz menguatkan kembali apa yang sudah menjadi salah satu
gagasan besarnya:
“Hidup bukanlah upaya mencari kepuasan sebagaimana diyakini Freud, atau mengejar kekuasaan sebagaimana pemikiran Alfred Adler, tetapi sebuah pencarian makna.”
Tugas terbesar manusia adalah
mencari makna hidupnya. Frankl melihat ada tiga kemungkinan sumber makna hidup:
dalam pekerjaan (melakukan sesuatu yang penting), dalam cinta (kepedulian pada
orang lain), dan dalam keberanian di saat-saat sulit.
Sebenarnya, penderitaan itu tidak
memiliki arti apa pun terhadap hidup kita. Namun cara kita menghadapi
penderitaan itulah yang memberikan makna pada penderitaan tersebut. Saat di kamp Konsentrasi, Frankl
menyadari juga bahwa:
“Dapat tetap berani, bermartabat, dan tidak mementingkan diri sendiri, atau pada saat harus berjuang mati-matian mempertahankan diri, dia bisa saja lupa akan martabat kemanusiaannya dan menjadi tak lebih dari seekor binatang.”
Dalam pandangannya, dia mengakui
bahwa hanya sedikit tawanan Nazi yang dapat tetap berani, “namun bahkan satu
contoh saja sudah cukup menjadi bukti bahwa kekuatan batin manusia mampu
mengubah takdir lahiriahnya”.
Setelah Frankl selamat dari kamp
Konsentrasi, ada pandangan yang dia yakini:
“Apa pun bisa dirampas dari manusia. Kecuali satu: Kebebasan terakhir seorang manusia—kebebasan untuk menentukan sikap dalam setiap keadaan, kebebasan untuk memilih jalannya sendiri.”
Pengalaman puncak dari semua
yang terjadi di kamp Konsentrasi, untuk semua orang yang berhasil kembali ke
rumah, adalah perasaan indah. Bahwa setelah semua penderitaan yang dia jalani,
tidak ada lagi yang perlu dia takutkan—kecuali Tuhannya.
Ada satu kutipan yang mungkin
paling menjadi perhatian saya dalam cerita ini. Kutipan yang cukup penting untuk kalian baca saat kalian merasa menderita. Yaitu:
“Jika hidup benar-benar memiliki makna, maka harus ada makna di dalam penderitaan. Karena penderitaan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia, meskipun penderitaan itu merupakan nasib dan dalam bentuk kematian. Tanpa penderitaan dan kematian, hidup manusia tidak akan sempurna. Kita perlu menghadapi seluruh penderitaan kita, dan berusaha meminimalkan perasaan lemah dan takut. Tetapi, kita juga tidak perlu malu untuk menangis, karena air mata merupakan saksi dari keberanian manusia yang paling besar, yakni keberanian untuk menderita.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar