Sebelum menjadi psikolog, Angela
Duckworth (penulis GRIT) adalah seorang guru matematika. Seperti pada umumnya,
terlihat jelas sejak minggu pertama bahwa beberapa siswa lebih mudah mengerti
konsep matematika daripada teman sekelas mereka. Namun pada akhir periode
pemberian nilai, dia terkejut melihat beberapa siswa pintar ini tidak
mendapatkan nilai sebaik uang dia harapkan. Banyak siswa paling berbakat
memperoleh nilai tidak memuaskan, bahkan lebih buruk.
Sebaliknya, beberapa siswa yang
awalnya mengalami kesulitan justru berprestasi lebih baik daripada perkiraan
dia. Tampaknya, bakat alami tidak menjamin prestasi baik. Bakat untuk
matematika berbeda dengan meraih prestasi tinggi di kelas matematika.
Perhatiannya
teralihkan oleh bakat.
Pada kenyataannya, betapa
cerdasnya—bahkan siswa yang menurutnya terlemah—mereka saat berbicara tentang
hal-hal yang benar-benar menarik bagi mereka. Percakapan-percakapan yang dia
rasa hampir mustahil untuk diikuti. Di sini dia menyadari bahwa bakat tiap
siswa tidak sama. Tapi, dalam mengikuti pelajaran matematika, apakah mereka
mengerahkan upaya yang cukup selama beberapa waktu, mereka akan mencapai apa
yang mereka butuhkan? Tentu, pikirnya. Mereka semua cukup berbakat.
—
Menjelang akhir tahun ajaran, Angela
Duckworth menikah dan pindah dari New York ke San Francisco. Dia pun mengajar
di Lowell High School, San Francisco. Di sana, dia menemukan bahwa siswa Lowell
lebih unggul karena etika belajar mereka daripada kecerdasan mereka. Persis
seperti yang dia temukan di New York, beberapa siswa yang saya perkirakan
unggul, karena mengerjakan matematika dengan mudah, berprestasi lebih buruk
daripada teman sekelas mereka. Sebaliknya, beberapa siswa yang bekerja paling
keras secara konsisten meraih prestasi tertinggi dalam ujian dan ulangan.
Salah satu pekerja keras ini
adalah David Luong, siswa tahun pertama di kelas aljabar Angela. Mulanya David
tidak menonjol. Ia pendiam dan duduk di bagian belakang. Ia jarang mengacungkan
tangan dan jarang maju untuk memecahkan soal. Namun dia selalu mengejakan tugas
dengan sempurna dan dia haus ilmu.
Pada akhirnya, dia lulus dengan
nilai sempurna dan lulus kuliah dengan dua gelar di jurusan teknik dan ekonomi.
Intinya, bakat bukanlah takdir dan upaya akan menghasilkan keuntungan.
“Faktor penentu prestasi yaitu keyakinan bahwa semangat dan kerja keras pada akhirnya lebih penting daripada kemampuan intelektual.” – Charles Darwin
—
“Bias kealamian” adalah prasangka
terselubung terhadap orang-orang yang berprestasi karena kerja keras mereka,
dan preferensi terselubung pada orang-orang yang kita pikir mencapai posisi
mereka dalam hidup karena bakat alami. Mungkin bias ini tidak diakui orang kebanyakan
orang, tapi bias ini terlihat nyata dalam pilihan yang kita buat.
—
Apakah bakat adalah hal yang
buruk? Apakah kita semua memiliki bakat yang setara? Tidak dan tidak! Kemampuan
untuk dengan cepat memanjat kurva pembelajaran keterampilan mana pun tentunya
adalah hal yang sangat baik, dan suka tidak suka, beberapa di antara kita memiliki
kemampuan yang lebih baik daripada yang lain.
Keasyikan dengan bakat adalah
hal yang berbahaya. Jika kita mengarahkan perhatian pada bakat, kita berisiko
meninggalkan hal lain di bawah bayang-bayang. Itu sama saja seperti beranggapan
bahwa faktor-faktor lain—termasuk ketabahan—tidak sepenting sebenarnya.
Ubah pola pikir kalian dari Hanya ini yang bisa kau lakukan menjadi Siapa yang tahu apa yang bisa kau lakukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar