Hal yang terjadi di dunia setiap
kali ada orang yang berhasil mencapai prestasi besar yang patut ditulis, kita
buru-buru mengangkatnya sebagai orang yang luar biasa “berbakat”.
Bila menekankan bakat secara berlebih, kita
meremehkan hal lain. Ekstremnya, ini seolah-olah kita jauh di dalam, menganggap
hal berikut sebagai –kebenaran:
—
Menurut Dan Chambliss, kinerja
superlatif sebenarnya adalah penyatuan dari beberapa keterampilan atau kegiatan
kecil, yang masing-masing dipelajari atau diketahui secara kebetulan, yang
dilatih secara cermat menjadi sebuah kebiasaan, lalu dicocokkan satu sama lain
menjadi kesatuan utuh. Tidak ada hal yang luar biasa pada tindakan ini; hanya
kenyataan bahwa ini semua dilakukan secara konsisten dan benar, dan secara
bersama menghasilkan keunggulan.
“Bakat”, menurut pengamatan dia
dalam dunia atletik, “adalah penjelasan awam paling umum yang kita miliki untuk
menjelaskan kesuksesan atletik”. Seolah-olah bakat adalah semacam “zat tak
terlihat di balik permukaan realitas kinerja, yang akhirnya membedakan mana
atlet terbaik.” Dan atlet-atlet hebat ini tampaknya diberkati “dengan bakat
istimewa, ‘sesuatu’ dalam diri mereka, yang tidak ada pada diri kita—mungkin bersifat
fisik, genetik, psikologis, atau fisiologis. Beberapa orang ‘memilikinya’, dan
yang lain tidak. Beberapa adalah ‘atlet alami’ dan beberapa lainnya bukan.”
Nietzsche, seorang filsuf Jerman
abad-19, yang bahkan kata-katanya beberapa kali dicantumkan di artikel saya
mengenai pengalaman Frankl dari buku MAN’S SEARCH FOR MEANING pernah juga
berkata mengenai bakat. “Dengan segala hal sempurna” tulisnya, “kita tidak
bertanya bagaimana kesempurnaan tersebut tercapai.” Sebaliknya, “kita
bersukacita dengan kenyataan saat ini seolah-olah kenyataan ini datang dari
tanah berkat sihir.”
Memitoskan bakat alami
menghindarkan kita dari keharusan untuk menghadapi tantangan. Membuat kita santai.
Itulah yang tak diragukan lagi terjadi pada hari-hari awal Angela mengajar,
ketika dia secara keliru menyamakan
bakat dan prestasi, dan dengan melakukannya, dia menghilangkan usaha dari
pertimbangan lebih lanjut.
–
Bila bakat tidak cukup untuk
menjelaskan prestasi, apa yang terlewat?
Angela Duckworth menyusun teori
tentang psikologi pencapaian dan menerbitkannya melalui sebuah artikel yang
memaparkan dua persamaan sederhana yang menjelaskan cara beralih dari bakat ke
prestasi.
Bakat adalah secepat apa keterampilan kalian menjadi semakin baik bila
kalian menginvestasikan upaya. Prestasi adalah apa yang terjadi bila kalian
membawa keterampilan yang kalian peroleh dan menggunakannya. Tentunya, peluang
kalian juga sangat penting, dan mungkin melebihi hal apa pun menyangkut
individunya.
“Satu-satunya hal yang saya lihat sangat berbeda pada saya adalah: saya tidak takut mati di treadmill. Saya tidak akan membiarkan orang lain bekerja lebih baik daripada saya, titik. Anda mungkin lebih berbakat daripada saya, anda mungkin lebih pintar daripada saya, Anda mungkin lebih seksi daripada saya. Anda mungkin lebih segalanya daripada saya. Anda mengungguli saya dalam sembilan kategori. Namun, bila kita naik treadmill bersama, ada dua kemungkinan: Anda akan turun terlebih dahulu atau saya akan mati. Sesederhana itu.” -Will Smith
Seseorang yang dua kali lebih berbakat tapi dengan semangat kerja
separuh dari orang lain mungkin akan mencapai level keterampilan yang sama tapi
menghasilkan jauh lebih sedikit setelah beberapa waktu. Ini karena saat
orang-orang tabah meningkatkan keterampilan mereka, mereka juga menggunakan
keterampilan itu, orang yang mengimbangi orang berbakat alami karena bekerja
lebih keras dalam jangka panjang akan mencapai lebih banyak hal.
Keterampilan tidak sama dengan prestasi.
Tanpa upaya, bakat kalian tidak lebih dari potensi yang tidak dipenuhi. Tanpa upaya,
keterampilan kalian tidak lebih dari apa yang bisa kalian lakukan tapi tidak
kalian lakukan. Dengan upaya, bakat berubah menjadi keterampilan, dan pada
waktu yang sama, upaya membuat keterampilan berubah menjadi produktif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar