Cara terbaik memperkuat kekuatan
tekad dan membantu murid-murid agar menjadi lebih baik adalah menjadikannya
suatu kebiasaan. “Terkadang seolah-olah orang-orang dengan kendali diri besar
tidak bekerja keras—namun itu karena mereka telah menjadikannya otomatis,” Angela
Duckworth (Penulis Grit), pernah berkata: “Kekuatan tekad mereka timbul tanpa
perlu mereka pikirkan.
Kekuatan tekad adalah keahlian
yang bisa diajarkan dengan cara yang sama seperti matematika dan mengucapkan “terima
kasih” diajarkan kepada anak-anak. Kekuatan tekad bukan sekadar keahlian,
melainkan otot, seperti otot di lengan atau kaki kita, dan bisa lelah kalau
kerjanya semakin berat, sehingga ada lebih sedikit yang tersisa untuk hal-hal
lain.”
Bila kita ingin melakukan
sesuatu yang membutuhkan kekuatan tekad, kita harus menghemat otot kekuatan
tekad hari itu. Bila kita menghabiskannya terlalu dini dengan mengerjakan tugas-tugas
menjemukan seperti menulis surat atau mengisi formulir pengeluaran uang yang
rumit dan membosankan, keseluruhan kekuatan itu bakalan sudah hilang waktu
kalian tiba di rumah.
Ketika orang memperkuat otot
kekuatan tekadnya di salah satu bagian hidupnya, kekuatan itu menular ke apa
yang ia makan atau seberapa keras ia bekerja. Begitu kekuatan tekad menjadi
lebih kuat, segalanya pun tersentuh.
Orang-orang menjadi lebih baik
dalam menata dorongan hati. Mereka belajar bagaimana mengelak dari godaan. Dan begitu
kita memahami irama kekuatan tekad itu, otak kita berlatih membantu kita
berfokus pada tujuan.
Starbucks menemukan bahwa pemecahannya adalah mengubah disiplin diri menjadi kebiasaan organisasional.
Starbucks melakukan upaya untuk
meningkatkan kekuatan tekad pegawai mereka. Mereka menemukan, yang mereka butuhkan
adalah kebiasaan institusional yang mempermudah menumbuhkan disiplin diri. Apa yang
pegawai betul-betul butuhkan adalah instruksi-instruksi yang jelas mengenai
bagaimana menangani titik krisis: rutinitas untuk diikuti para pegawai sewaktu
otot kekuatan tekad mereka loyo. Maka, Starbucks mengembangkan bahan penelitian
yang menjabarkan rutinitas untuk digunakan para pegawai ketika mereka berhadapan
dengan situasi berat.
Salah satu sistem Starbucks
gunakan adalah metode LATTE. Kita Listen (dengarkan) sang pelanggan, Acknowledge
(akui) keluhan mereka, Take action (bertindak) menyelesaikan masalah
itu, Thank (berterima kasih) kepada mereka, dan kemudian Explain
(jelaskan) mengapa masalah itu terjadi.
Starbucks memiliki lusinan
rutinitas yang diajarkan kepada para pegawai untuk digunakan pada titik-titik
kritis yang membuat stres. Ada sistem Apa, Apa, Mengapa dalam memberikan
kritik dan sistem Sambungkan, Temukan, dab Tanggapi untuk menerima
pesanan ketika suasana sedang sangat sibuk.
Howard Schultz, CEO Starbucks,
percaya bahwa bila kita memberitahu kepada orang bahwa ia memiliki apa yang
diperlukan agar sukses, mereka akan membuktikan bahwa kita benar. Ketika orang
diminta melakukan sesuatu yang membutuhkan kendali diri, bila mereka berpikir melakukan
itu untuk alasan pribadi—bila mereka merasa itu adalah pilihan atau sesuatu
yang mereka nikmati karena membantu seseorang—sesuatu itu tidak terasa
terlampau melelahkan. Bila mereka merasa mereka tidak punya otonomi, bila
mereka hanya menuruti perintah, otot-otot kekuatan tekad jauh lebih cepat
menjadi lelah.
“Kami mulai meminta para partner
untuk menggunakan kecerdasan dan kreativitas mereka, bukan lagi memerintahkan ‘keluarkan
kopi dari kota, taruh cangkir di sini, ikuti aturan ini,’” kata Kris Engskov,
salah seorang wakil presiden di Starbucks. “Orang-orang ingin memegang kendali
hidup mereka sendiri.”
Tingkat keluar pegawai (resign)
menurun. Kepuasan pelanggan meningkat. Sejak kembalinya Schultz, Starbucks telah
meningkatkan pendapatan sebesar lebih dari $1,2 miliar per tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar