moving

PENGEMBANGAN DIRI / CHARACTER BUILDING / SELF IMPROVEMENT

The Power of Habit #5 STARBUCKS DAN KEBIASAAN SUKSES; Ketika Kekuatan Tekad Menjadi Otomatis



     Cara terbaik memperkuat kekuatan tekad dan membantu murid-murid agar menjadi lebih baik adalah menjadikannya suatu kebiasaan. “Terkadang seolah-olah orang-orang dengan kendali diri besar tidak bekerja keras—namun itu karena mereka telah menjadikannya otomatis,” Angela Duckworth (Penulis Grit), pernah berkata: “Kekuatan tekad mereka timbul tanpa perlu mereka pikirkan.
     Kekuatan tekad adalah keahlian yang bisa diajarkan dengan cara yang sama seperti matematika dan mengucapkan “terima kasih” diajarkan kepada anak-anak. Kekuatan tekad bukan sekadar keahlian, melainkan otot, seperti otot di lengan atau kaki kita, dan bisa lelah kalau kerjanya semakin berat, sehingga ada lebih sedikit yang tersisa untuk hal-hal lain.”
     Bila kita ingin melakukan sesuatu yang membutuhkan kekuatan tekad, kita harus menghemat otot kekuatan tekad hari itu. Bila kita menghabiskannya terlalu dini dengan mengerjakan tugas-tugas menjemukan seperti menulis surat atau mengisi formulir pengeluaran uang yang rumit dan membosankan, keseluruhan kekuatan itu bakalan sudah hilang waktu kalian tiba di rumah.
     Ketika orang memperkuat otot kekuatan tekadnya di salah satu bagian hidupnya, kekuatan itu menular ke apa yang ia makan atau seberapa keras ia bekerja. Begitu kekuatan tekad menjadi lebih kuat, segalanya pun tersentuh.
     Orang-orang menjadi lebih baik dalam menata dorongan hati. Mereka belajar bagaimana mengelak dari godaan. Dan begitu kita memahami irama kekuatan tekad itu, otak kita berlatih membantu kita berfokus pada tujuan.
Starbucks menemukan bahwa pemecahannya adalah mengubah disiplin diri menjadi kebiasaan organisasional.
     Starbucks melakukan upaya untuk meningkatkan kekuatan tekad pegawai mereka. Mereka menemukan, yang mereka butuhkan adalah kebiasaan institusional yang mempermudah menumbuhkan disiplin diri. Apa yang pegawai betul-betul butuhkan adalah instruksi-instruksi yang jelas mengenai bagaimana menangani titik krisis: rutinitas untuk diikuti para pegawai sewaktu otot kekuatan tekad mereka loyo. Maka, Starbucks mengembangkan bahan penelitian yang menjabarkan rutinitas untuk digunakan para pegawai ketika mereka berhadapan dengan situasi berat.
     Salah satu sistem Starbucks gunakan adalah metode LATTE. Kita Listen (dengarkan) sang pelanggan, Acknowledge (akui) keluhan mereka, Take action (bertindak) menyelesaikan masalah itu, Thank (berterima kasih) kepada mereka, dan kemudian Explain (jelaskan) mengapa masalah itu terjadi.
     Starbucks memiliki lusinan rutinitas yang diajarkan kepada para pegawai untuk digunakan pada titik-titik kritis yang membuat stres. Ada sistem Apa, Apa, Mengapa dalam memberikan kritik dan sistem Sambungkan, Temukan, dab Tanggapi untuk menerima pesanan ketika suasana sedang sangat sibuk.
     Howard Schultz, CEO Starbucks, percaya bahwa bila kita memberitahu kepada orang bahwa ia memiliki apa yang diperlukan agar sukses, mereka akan membuktikan bahwa kita benar. Ketika orang diminta melakukan sesuatu yang membutuhkan kendali diri, bila mereka berpikir melakukan itu untuk alasan pribadi—bila mereka merasa itu adalah pilihan atau sesuatu yang mereka nikmati karena membantu seseorang—sesuatu itu tidak terasa terlampau melelahkan. Bila mereka merasa mereka tidak punya otonomi, bila mereka hanya menuruti perintah, otot-otot kekuatan tekad jauh lebih cepat menjadi lelah.
     “Kami mulai meminta para partner untuk menggunakan kecerdasan dan kreativitas mereka, bukan lagi memerintahkan ‘keluarkan kopi dari kota, taruh cangkir di sini, ikuti aturan ini,’” kata Kris Engskov, salah seorang wakil presiden di Starbucks. “Orang-orang ingin memegang kendali hidup mereka sendiri.”
     Tingkat keluar pegawai (resign) menurun. Kepuasan pelanggan meningkat. Sejak kembalinya Schultz, Starbucks telah meningkatkan pendapatan sebesar lebih dari $1,2 miliar per tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar